Sunday, March 20, 2011

Lain Jaman, Lain Pendekatan

Lain Jaman, Lain Pendekatan

Oleh: Abdurrahman Wahid

Persoalan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih terus dibicarakan

orang. Walaupun KH. M. Sahal Mahfudz telah berusaha sekuat-kuatnya

menjelaskan, namun tidak berhasil menenangkan masyarakat, bahkan

MUI-pun menjadi sasaran guyonan masyarakat banyak. Bahkan ada yang

menyatakan, MUI adalah singkatan Majelis Uang Indonesia. Contoh

plesetan yang tidak menggelikan ini, sebenarnya menggambarkan perasaan

masyarakat yang berang terhadap 'kesalahan' MUI. Bahkan sikap salah

seorang ketuanya yaitu KH. Ma'ruf Amin yang menyatakan ia optimis

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan mendukung MUI dalam hubungan

dengan melarang gerakan Ahmadiyah Indonesia, dirasakan sebagai sikap

arogan dan tidak bertanggung jawab.

Bukan hanya penulis, yang melihat masalahnya dari sudut konstitusi,

tapi orang-orang seperti Dr. Azyumardi Azra, Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif

(yang disegani orang karena sikapnya yang hati-hati), dan Dr. M.

Syafi'i Anwar, semuanya menolak fatwa MUI itu. Bahkan tokoh-tokoh

Muhammadiyah yang ada di lingkungan MUI dihadapkan kepada reaksi marah

dari para anggota Muhammadiyah sendiri, termasuk ketuanya Din

Syamsuddin. Bahkan seorang tokoh Muhammadiyah yang berpengaruh besar

seperti Prof. M Dawam Rahardjo berpendapat, menuntut supaya MUI

dibubarkan saja. Kira-kira menurut pendapat penulis, karena sikap MUI

terhadap minoritas seperti GAI (Gerakan Ahmadiyah Indonesia).

Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, memahami benar bahwa GAI

dilindungi oleh konstitusi kita, betapapun kita berbeda pendirian

dengan mereka.

Sedangkan argumentasi orang-orang yang tergabung dalam usaha

pelarangan atau yang mendukung argumentasi untuk melarang GAI itu,

adalah bahwa Saudi Arabia melarangnya. Namun dilupakan Saudi Arabia

adalah sebuah negara Islam, sedangkan Republik Indonesia bukan. Kita

adalah sebuah negara nasional yang berlandaskan Pancasila, karena itu

dapat menerima perbedaan apapun dalam faham kenegaraan (kecuali

komunisme dalam pandangan sejumlah orang). Jika kita larang GAI,

karena berbeda dari pendapat doktriner sebagian besar kaum muslimin di

negeri ini, konsekuensinya kita juga harus melarang

pandangan-pandangan kaum Kristen dan Katholik, Buddha, Hindu dan

lain-lain. Bukankah keyakinan mereka juga tidak sama dengan keyakinan

keimanan mayoritas kaum muslimin?

Maka dapat dipahami 'kemarahan' orang terhadap fatwa MUI itu. Karena

bukannya menolong pemerintah untuk mencarikan jawaban terhadap keadaan

yang 'mengharuskan' pencarian solusi bagi krisis multidimensi yang

sedang kita hadapi, atau setidak-tidaknya menahan diri dari setiap

tindakan yang memperburuk hubungan antara kita, fatwa MUI itu justru

membawa masalah baru dalam hubungan antara berbagai agama di negeri

kita. Pandangan serba sempit yang dimiliki MUI itu akan merugikan

seluruh komponen bangsa.

Kita harus saling mengingatkan, bahwa kita memiliki kewajiban agar

apapun perbedaan pendirian kita, kita harus hidup bersama dalam satu

ikatan. Bahwa perbedaan demi perbedaan yang ada, seharusnya mendorong

munculnya sikap yang arif bijaksana, bukannya sikap yang membuat

hubungan yang ada menjadi semakin buruk, seperti pendapat MUI yang

menimbulkan reaksi yang begitu keras.

Memang pada akhir-akhir ini kita melihat bahwa di lingkungan

gerakan-gerakan Islam mulai muncul 'hal-hal tidak sedap', seperti

munculnya sikap lebih keras di kalangan kaum muslimin, untuk

memunculkan 'kelebihan' ajaran-ajaran agama Islam di atas berbagai

ajaran agama-agama lain. Sebenarnya unutk memenuhi 'kebutuhan' akan

hal itu, justru diperlukan kearifan untuk menahan diri di kalangan

para pemimpin Islam sendiri.

'Salah baca' para pimpinan MUI justru berakibat pada reaksi berlebihan

dari kaum muslimin sendiri. Kalau saja hal ini disadari oleh para

pemimpin MUI, tidak akan terjadi apa yang kita saksikan minggu lalu

itu, yaitu penyerangan sejumlah Masjid Ahmadiyah. Para pemimpin MUI

justru melupakan sebuah kenyataan penting berupa rumusan ajaran Islam

yang sebenarnya, yaitu "Telah Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan

perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

bangsa, untuk saling mengenal" (I nna khalaqnakum min dzakarin wa

untsa wa ja'alnakum syu'uban wa qabaila li ta'arafu). Dan sikap dasar

dari ketentuan Tuhan itu adalah "Dan berpeganglah kepada tali Allah

secara keseluruhan, dan jangan terpecah-belah" (wa'tashimu bi habli

Allah jami'an wa la tafarraqu).

Sikap dasar ini juga merupakan antisipasi terhadap kenyataan akan masa

depan agama Islam dan kaum muslimin, seperti telah terbukti dewasa ini

yaitu Islam merupakan agama besar, tanpa mengecilkan agama-agama lain.

Inilah yang belum disadari oleh para pemimpin MUI maupun para pemimpin

berhaluan keras yang ada di kalangan kaum muslimin sendiri pada saat

ini. Sikap-sikap keras yang kita lihat masih ada di kalangan kaum

muslimin mudah-mudahan akan hilang melalui pendidikan yang lebih baik

dan komunikasi yang lebih intens.

Bisa kita gambarkan upaya para pemimpin muslim di masa lampau, seperti

Sir Sayyed Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh di Mesir. Di masa

lampau, mayoritas kaum muslimin pada waktu itu bersikap keras pada

orang lain, karena memang kolonialisme masih merajalela. Karena itu

sikap toleransi yang mereka perlihatkan dianggap sebagai tindakan

'menyerahkan diri' kepada agama lain. Tetapi pendidikan dan komunikasi

yang berkembang antara kaum muslimin dan pihak-pihak lain, membuat

kita menyadari bahwa memang diperlukan kearifan dan kebijaksanaan

dalam hal ini.

Hanya saja di kalangan orang-orang yang berpengetahuan agama Islam

tidak cukup mendalam, justru terjadi kecurigaan yang berlebih-lebihan

terhadap orang lain, yang menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada,

bukannya mencari titik temu antara Islam dengan agama-agama lain itu.

Karena itulah, timbullah reaksi yang mengacu kepada penggunaan "bahasa

kekerasan" dari Islam terhadap agama-agama lain. Inilah sisa-sisa

warisan lama yang harus kita rubah melalui pendidikan dan komunikasi

antar golongan. Ini berarti terhadap keadaan yang berubah, respon kita

juga harus mengalami perubahan pula. Perubahan respon ini adalah

kewajaran dalam perkembangan manusia, bukannya keadaan yang harus

diteruskan dari generasi ke generasi. Tanpa memahami "keharusan

sejarah" ini maka dapat berakibat fatal bagi diri kita sendiri,

minimal bagi peranan kita dalam kehidupan bersama. Jawaban yang tepat

hanya diperoleh mereka yang memahami keadaan secara tepat pula.

Apa yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian saja dari begitu banyak

hal-hal rumit yang dihadapi oleh kaum muslimin. Tetapi merespon dengan

sikap keras merupakan sesuatu yang tampak dengan segera dalam

pandangan bangsa ini. Mengapa? Karena kaum muslimin tidak hidup

sendirian di sini, melainkan ditakdirkan oleh Allah untuk hidup

bersama-sama dengan orang-orang beragama lain. Bahkan kaum muslimin

sekarang ini harus hidup dengan mereka yang tidak ber-Tuhan, atau

mereka yang memiliki kerangka etis yang lain, seperti kerangka dari

'masa lampau'. Ini adalah bagian dari upaya melestarikan dan membuang

yang senantiasa terdapat dalam proses sejarah umat manusia, bukan?

Jakarta, 2 Agustus 2005

No comments:

Post a Comment