Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, rupanya mulai
ditiru pemerintah lokal. Bukannya mengutuk dan mengusut tindak
kekerasan tersebut, pemerintah daerah justru menimpakan hujatan kepada
Jemaah Ahmadiyah sebagai penyebab tindak pembantai itu.
Gubernur Banten, Ratu Catut Chosiyah, misalnya, mengatakan sebaiknya
1.120 Jemaah Ahmadiyah yang ada di propinsinya segera bertobat dan
insaf. Ide gila lainnya, muncul dari anggota DPR dari Partai Golkar,
HM Busyro, yang mengatakan perlu dipertimbangkan opsi untuk
menempatkan Ahmadiyah dalam suatu pulau terpencil, biar nggak bikin
ribut.
Tetapi, jika kedua politisi ini baru bertindak sebatas bibir, maka
gubernur Jawa Timur Soekarwo, bertindak lebih jauh lagi. Mengikuti
jejak Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri mengenai Ahmadiyah,
sang gubernur ini melalui Surat Keputusan (SK) Nomor
188/94/KPT/013/2011, menyatakan aktivitas Ahmadiyah di Jawa Timur
dapat memicu atau menyebabkan terganggunya keamanan di Jawa Timur,
melarang ajaran Ahmadiyah secara lisan tulisan maupun media
elektronik, melarang memasang papan nama pada masjid, musholah,
lembaga pendidikan dan melarang penggunaan atribut jemaah Ahmadiyah
dalam segala bentuknya.
Seperti sikap presiden yang yang tak punya sikap terhadap pelaku
kekerasan, gubernur Soekarwo tampaknya wedi terhadap tuntutan
organisasi massa (ormas) Islam yang anti terhadap Ahmadiyah. Dengan
keluarnya SK ini, Soekarwo telah memberikan obat penenang bagi
ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Bersatu
(GUIB). Selain itu, pembiaran yang dilakukan pemerintahan SBY atas SK
gubernur ini jelas melanggar pasal 4 jo 18 ICCPR 1966 yang sudah
diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang
menegaskan bahwa urusan beragama/berkeyakinan sesungguhnya terkategori
non-derogable rights (hak yang sama sekali tidak boleh
dikurangi/dibatasi).
SK yang anti Pancasila, anti kebangsaan dan kebhinekaan ini rupanya
berlindung di balik kekhawatiran akan efek domino atas kejadian di
Cikeusik, yang dapat saja terjadi di Jawa Timur. Tentu saja ini cara
berpikir a la orde baru (orba) yang neo-fasis. Kita tahu, ketakutan
akan komunisme sengaja dibuat pemerintah dan organisasi binaannya,
agar ada alasan untuk terus menindas mereka yang dituduh komunis atau
terlibat organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan menindas
mereka yang dituduh anggota/simpatisan PKI, rejim orba sekaligus
memberangus hak rakyat untuk bebas berpikir, bersuara, dan
berekspresi.
Dengan terus menganggap Ahmadiyah sesat dan menyelewengkan ajaran
Islam, maka pemerintah membiarkan (baca: menyetujui) pembantaian
terhadap mereka. Terbukti, walaupun gubernur Soekarwo telah
mengeluarkan SK yang diskriminatif, kalangan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) menilai SK tersebut tidak tegas dan tidak mengandung sanksi.
Sekretaris GBUI pun mengatakan, kalau aparat kepolisian dapat
menertibkan kita akan angkat topi, kalau tidak, kita akan ambil
langkah-langkah.
Dengan kata lain, SK gubernur ini sama sekali tidak akan bisa
menciptakan situasi aman di Jawa Timur. Justru sebaliknya, SK ini
memberikan peluang kepada ormas-ormas anti Ahmadiyah untuk
membenarkan penyerangannya terhadap Ahmadiyah, sekaligus memberikan
kegamangan terhadap aparat penegak hukum. Kebijakan seperti ini justru
telah dijadikan alat legitimasi dan justifikasi untuk melakukan
kekerasan.
Nilai GusDurian
Yang menarik dari gubernur Soekarwo ini, seperti umumnya politisi di
Indonesia, berwatak pragmatis dan oportunis. Ia bisa melakukan hal-hal
yang bertentangan demi meraih popularitas dan mengamankan kekuasaannya
sekaligus.
Misalnya, beberapa hari sebelum ia mengeluarkan SK yang melarang
seluruh aktivitas Ahmadiyah itu, Soekarwo mengeluarkan Surat Keputusan
mengenai kepahlawanan Abdurrahmad Wahid atau yang biasa kita sapa Gus
Dur. Hal itu di lakukan agar mantan presiden yang meninggal dunia pada
akhir 2009 tersebut diangkat menjadi pahlawan nasional lewat usulan
dari daerah.
Sang gubernur ini rupanya sangat asyik dengan kegiatan-kegiatan
seremonial penuh gebyar, tapi lupa pada subtansi. Ia lebih sibuk
membicarakan aspek legal-formal pemberian gelar kepahlawanan pada Gus
Dur, namun abai pada substansi dari nilai-nilai kepahlawanan tokoh
pejuang demokrasi, egaliterisme dan pluralisme itu. Ia mendeklarasikan
diri secara terbuka sebagai pengagum Gus Dur dan terinspirasi dengan
sikap serta perjuangan Gus Dur atau menyebut diri sebagai generasi
penerus perjuangannya. Tapi dalam praktiknya, Soekarwo justru menolak
dan mengkhianati sikap politik dan nilai-nilai keindonesia dan
keberagaman yang dipegang teguh oleh Gus Dur.
Dalam soal Ahmadiyah, pendirian Gus Dur jelas dan tuntas. "Selama saya
masih hidup, saya akan pertahankan gerakan Ahmadiyah. Ngerti nggak
ngerti terserah!" Pernyataan itu dilontarkannya ketika kelompok
pengikut Mirza Ghulam ini diserang Front Pembela Islam (FPI) dan
muncul desakan agar Ahmadiyah dibubarkan. Pada kesempatan lain, Gus
Dur menawarkan kepada kelompok Ahmadiyah berlindung di Ciganjur,
lingkungan kediamannya, jika pemerintah dianggap tak lagi bisa
melindungi mereka. Di hadapan ratusan anggota Anshor, sayap
kepemudaan NU, Gus Dur juga sempat berpesan untuk melindungi kelompok
minoritas seperti Ahmadiyah.
Dengan pembelaan itu, hemat saya, Gus Dur sedang mengingatkan banyak
orang mengenai batas yang jelas menyangkut relasi negara, warga
negara, dan agama. Pada saat bersamaan, ia juga sedang berupaya
memosisikan agama lebih "terdidik". Dalam bahasanya, agar
"mendewasakan diri". Dengan cara semacam itu, Gus Dur sedang berupaya
menjaga agar agama bisa terus mandiri dan terhindar dari politisasi
negara atau kelompok-kelompok tertentu.
Agama Publik
Usaha Gus Dur di atas tampaknya sejalan dengan konsep "agama publik"
yang dipopulerkan Jose Casanova, profesor pada departmen Sosiologi
Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Gagasan ini mengandaikan
agama harus memiliki ruang kedaulatannya sendiri dalam memengaruhi
kehidupan publik. Tetapi ruang itupun juga dibatasi oleh ruang
kedaulatan struktur sosial lainnya, seperti negara atau
asosiasi-asosiasi publik lainnya. Karenanya agama tak boleh merampas
peran dan otonomi stuktur sosial lainnya. Begitu sebaliknya.
Menurut Casanova, tidak bisa dipungkiri bahwa agama kini kian
merangsek ke tengah-tengah masyarakat atau ranah publik dan membawa
berbagai isu yang menjadi keprihatinan mereka, seperti kemiskinan,
kesenjangan dan ketidakadilan. Bahkan isu tentang nasib minoritas pun
tidak luput dari concern sejumlah pemimpin agama mayoritas yang
notabene berbeda doktrin dengan mereka (Senturk, 2005). Fenomena ini
dilihat oleh Casanova sebagai suatu "pemberontakan" terhadap doktrin
sekularisme ortodoks tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa agama juga
berbahaya jika menjadi bagian inhern dari kekuasaan politik itu
sendiri.
Jawa Timur sebagai provinsi dimana Nahdlatul Ulama (NU) lahir, dan
menjadi basis masa NU terbesar di Indonesia, telah menyepakati kalau
memang Ahmadiyah berseberangan paham dengan NU, namun bukan berarti
menghukuminya dengan sesat apalagi melarangnya atau membubarkannya.
Dikuatkan dengan adanya pernyataan dari Ketua Umum PB NU Said Agil
Siradj yang mengatakan "Ahmadiyah menyimpang dan tidak sejalan dengan
NU, namun pembubaran Ahmadiyah adalah domain Pemerintah dan NU tidak
berada dalam wilayah itu"
Namun, rupanya, dalam hal inilah Gubernur Jawa Timur tidak
memahaminya. Nilai-nilai kepahlawanan Gus Dur yang di terjemahkan
dalam tindakan, jauh lebih penting dari sekedar mencari legalitas
formal gelar kepahlawanan semata. Gubernur Jawa Timur layak untuk
introspeksi dan kembali kepada basis umatnya yang orisinal, suatu
bentuk Masyarakat Sipil dengan keunikannya.
Chandra Dinata Irawan Wilwatikta
Mahasiswa ilmu politik universitas Airlangga, Surabaya dan aktif di
Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI)
No comments:
Post a Comment