Sunday, March 20, 2011

Gus Dur dan Pembelaan Terhadap Ahmadiyah

AKSI BUNGKAM dan pembiaran pemerintah pusat terhadap pembantaian

Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, rupanya mulai

ditiru pemerintah lokal. Bukannya mengutuk dan mengusut tindak

kekerasan tersebut, pemerintah daerah justru menimpakan hujatan kepada

Jemaah Ahmadiyah sebagai penyebab tindak pembantai itu.

Gubernur Banten, Ratu Catut Chosiyah, misalnya, mengatakan sebaiknya

1.120 Jemaah Ahmadiyah yang ada di propinsinya segera bertobat dan

insaf. Ide gila lainnya, muncul dari anggota DPR dari Partai Golkar,

HM Busyro, yang mengatakan perlu dipertimbangkan opsi untuk

menempatkan Ahmadiyah dalam suatu pulau terpencil, biar nggak bikin

ribut.

Tetapi, jika kedua politisi ini baru bertindak sebatas bibir, maka

gubernur Jawa Timur Soekarwo, bertindak lebih jauh lagi. Mengikuti

jejak Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri mengenai Ahmadiyah,

sang gubernur ini melalui Surat Keputusan (SK) Nomor

188/94/KPT/013/2011, menyatakan aktivitas Ahmadiyah di Jawa Timur

dapat memicu atau menyebabkan terganggunya keamanan di Jawa Timur,

melarang ajaran Ahmadiyah secara lisan tulisan maupun media

elektronik, melarang memasang papan nama pada masjid, musholah,

lembaga pendidikan dan melarang penggunaan atribut jemaah Ahmadiyah

dalam segala bentuknya.

Seperti sikap presiden yang yang tak punya sikap terhadap pelaku

kekerasan, gubernur Soekarwo tampaknya wedi terhadap tuntutan

organisasi massa (ormas) Islam yang anti terhadap Ahmadiyah. Dengan

keluarnya SK ini, Soekarwo telah memberikan obat penenang bagi

ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Bersatu

(GUIB). Selain itu, pembiaran yang dilakukan pemerintahan SBY atas SK

gubernur ini jelas melanggar pasal 4 jo 18 ICCPR 1966 yang sudah

diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang

menegaskan bahwa urusan beragama/berkeyakinan sesungguhnya terkategori

non-derogable rights (hak yang sama sekali tidak boleh

dikurangi/dibatasi).

SK yang anti Pancasila, anti kebangsaan dan kebhinekaan ini rupanya

berlindung di balik kekhawatiran akan efek domino atas kejadian di

Cikeusik, yang dapat saja terjadi di Jawa Timur. Tentu saja ini cara

berpikir a la orde baru (orba) yang neo-fasis. Kita tahu, ketakutan

akan komunisme sengaja dibuat pemerintah dan organisasi binaannya,

agar ada alasan untuk terus menindas mereka yang dituduh komunis atau

terlibat organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan menindas

mereka yang dituduh anggota/simpatisan PKI, rejim orba sekaligus

memberangus hak rakyat untuk bebas berpikir, bersuara, dan

berekspresi.

Dengan terus menganggap Ahmadiyah sesat dan menyelewengkan ajaran

Islam, maka pemerintah membiarkan (baca: menyetujui) pembantaian

terhadap mereka. Terbukti, walaupun gubernur Soekarwo telah

mengeluarkan SK yang diskriminatif, kalangan Majelis Ulama Indonesia

(MUI) menilai SK tersebut tidak tegas dan tidak mengandung sanksi.

Sekretaris GBUI pun mengatakan, kalau aparat kepolisian dapat

menertibkan kita akan angkat topi, kalau tidak, kita akan ambil

langkah-langkah.

Dengan kata lain, SK gubernur ini sama sekali tidak akan bisa

menciptakan situasi aman di Jawa Timur. Justru sebaliknya, SK ini

memberikan peluang kepada ormas-ormas anti Ahmadiyah untuk

membenarkan penyerangannya terhadap Ahmadiyah, sekaligus memberikan

kegamangan terhadap aparat penegak hukum. Kebijakan seperti ini justru

telah dijadikan alat legitimasi dan justifikasi untuk melakukan

kekerasan.

Nilai GusDurian

Yang menarik dari gubernur Soekarwo ini, seperti umumnya politisi di

Indonesia, berwatak pragmatis dan oportunis. Ia bisa melakukan hal-hal

yang bertentangan demi meraih popularitas dan mengamankan kekuasaannya

sekaligus.

Misalnya, beberapa hari sebelum ia mengeluarkan SK yang melarang

seluruh aktivitas Ahmadiyah itu, Soekarwo mengeluarkan Surat Keputusan

mengenai kepahlawanan Abdurrahmad Wahid atau yang biasa kita sapa Gus

Dur. Hal itu di lakukan agar mantan presiden yang meninggal dunia pada

akhir 2009 tersebut diangkat menjadi pahlawan nasional lewat usulan

dari daerah.

Sang gubernur ini rupanya sangat asyik dengan kegiatan-kegiatan

seremonial penuh gebyar, tapi lupa pada subtansi. Ia lebih sibuk

membicarakan aspek legal-formal pemberian gelar kepahlawanan pada Gus

Dur, namun abai pada substansi dari nilai-nilai kepahlawanan tokoh

pejuang demokrasi, egaliterisme dan pluralisme itu. Ia mendeklarasikan

diri secara terbuka sebagai pengagum Gus Dur dan terinspirasi dengan

sikap serta perjuangan Gus Dur atau menyebut diri sebagai generasi

penerus perjuangannya. Tapi dalam praktiknya, Soekarwo justru menolak

dan mengkhianati sikap politik dan nilai-nilai keindonesia dan

keberagaman yang dipegang teguh oleh Gus Dur.

Dalam soal Ahmadiyah, pendirian Gus Dur jelas dan tuntas. "Selama saya

masih hidup, saya akan pertahankan gerakan Ahmadiyah. Ngerti nggak

ngerti terserah!" Pernyataan itu dilontarkannya ketika kelompok

pengikut Mirza Ghulam ini diserang Front Pembela Islam (FPI) dan

muncul desakan agar Ahmadiyah dibubarkan. Pada kesempatan lain, Gus

Dur menawarkan kepada kelompok Ahmadiyah berlindung di Ciganjur,

lingkungan kediamannya, jika pemerintah dianggap tak lagi bisa

melindungi mereka. Di hadapan ratusan anggota Anshor, sayap

kepemudaan NU, Gus Dur juga sempat berpesan untuk melindungi kelompok

minoritas seperti Ahmadiyah.

Dengan pembelaan itu, hemat saya, Gus Dur sedang mengingatkan banyak

orang mengenai batas yang jelas menyangkut relasi negara, warga

negara, dan agama. Pada saat bersamaan, ia juga sedang berupaya

memosisikan agama lebih "terdidik". Dalam bahasanya, agar

"mendewasakan diri". Dengan cara semacam itu, Gus Dur sedang berupaya

menjaga agar agama bisa terus mandiri dan terhindar dari politisasi

negara atau kelompok-kelompok tertentu.

Agama Publik

Usaha Gus Dur di atas tampaknya sejalan dengan konsep "agama publik"

yang dipopulerkan Jose Casanova, profesor pada departmen Sosiologi

Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Gagasan ini mengandaikan

agama harus memiliki ruang kedaulatannya sendiri dalam memengaruhi

kehidupan publik. Tetapi ruang itupun juga dibatasi oleh ruang

kedaulatan struktur sosial lainnya, seperti negara atau

asosiasi-asosiasi publik lainnya. Karenanya agama tak boleh merampas

peran dan otonomi stuktur sosial lainnya. Begitu sebaliknya.

Menurut Casanova, tidak bisa dipungkiri bahwa agama kini kian

merangsek ke tengah-tengah masyarakat atau ranah publik dan membawa

berbagai isu yang menjadi keprihatinan mereka, seperti kemiskinan,

kesenjangan dan ketidakadilan. Bahkan isu tentang nasib minoritas pun

tidak luput dari concern sejumlah pemimpin agama mayoritas yang

notabene berbeda doktrin dengan mereka (Senturk, 2005). Fenomena ini

dilihat oleh Casanova sebagai suatu "pemberontakan" terhadap doktrin

sekularisme ortodoks tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa agama juga

berbahaya jika menjadi bagian inhern dari kekuasaan politik itu

sendiri.

Jawa Timur sebagai provinsi dimana Nahdlatul Ulama (NU) lahir, dan

menjadi basis masa NU terbesar di Indonesia, telah menyepakati kalau

memang Ahmadiyah berseberangan paham dengan NU, namun bukan berarti

menghukuminya dengan sesat apalagi melarangnya atau membubarkannya.

Dikuatkan dengan adanya pernyataan dari Ketua Umum PB NU Said Agil

Siradj yang mengatakan "Ahmadiyah menyimpang dan tidak sejalan dengan

NU, namun pembubaran Ahmadiyah adalah domain Pemerintah dan NU tidak

berada dalam wilayah itu"

Namun, rupanya, dalam hal inilah Gubernur Jawa Timur tidak

memahaminya. Nilai-nilai kepahlawanan Gus Dur yang di terjemahkan

dalam tindakan, jauh lebih penting dari sekedar mencari legalitas

formal gelar kepahlawanan semata. Gubernur Jawa Timur layak untuk

introspeksi dan kembali kepada basis umatnya yang orisinal, suatu

bentuk Masyarakat Sipil dengan keunikannya.

Chandra Dinata Irawan Wilwatikta

Mahasiswa ilmu politik universitas Airlangga, Surabaya dan aktif di

Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI)

No comments:

Post a Comment