Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa waktu yang lalu, seperti
memberi sinyal bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki wewenang
untuk membubarkan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Kalau pendapat ini dikemukakan orang lain,
tidak ada masalah sama sekali. Tetapi ia dinyatakan oleh SBY dalam
kapasitas pemimpin formal negeri ini. Padahal ia sebenarnya seharusnya
sudah tahu bahwa wewenang itu harus berada di tangan Mahkamah Agung
(MA). Katakanlah keputusan MUI tentang JAI itu, yang sudah diambil
sejak lama, memiliki nilai 'kebenaran' dan karenanya harus
dilaksanakan. Tapi toh yang terjadi hanyalah 'kebenaran' dalam
pendapat keagamaan bukan pendapat kenegaraan. Dalam hal ini, jika kita
benar-benar konsekuen dengan Undang-Undang Dasar (UUD), fatwa MUI itu
bukanlah pendapat negara .
Jika ada yang menyatakan, bahwa MA menganggap tidak perlu memberikan
fatwa dalam hal ini, maka tulisan ini hendaklah dianggap sebagai
permintaan fatwa tersebut. Karena MA memiliki wewenang untuk
intervensi/campur tangan dalam hal kenegaraan apapun, yang menyangkut
UUD. Tanpa memiliki keberanian moral untuk berpegang pada kenyataan
ini, berarti MA mengingkari kehadirannya sendiri, sesuatu yang
sebenarnya menyimpang dari perjalanan bangsa ini ke arah demokrasi
konstitusional. Kalau kita sudah tidak mempunyai anggapan seperti ini,
itulah sebenarnya yang menjadi persoalan. Karena keseluruhan bangunan
negara kita didasarkan pada asumsi dasar, bahwa kekuasaan negara pada
tingkat nasional memiliki tiga unsur utama: pelaksana (eksekutif),
pembuat aturan (legislatif), dan penjaga (yudikatif).
Kalau 'pembagian kekuasaan' seperti itu dalam kehidupan bernegara
tidak diperhatikan, maka alasan berdirinya bangsa ini (raison d'etre
du nation) berhenti beroperasi dalam kehidupan kita. Berarti kita
harus merumuskan kembali dasar-dasar negara kita. Pancasila yang sudah
dirongrong begitu rupa, sekarang justru dirongrong dari dalam sendiri.
Kalau memang demikian, apa yang diinginkan 'orang luar' yaitu pisahnya
Indonesia menjadi tujuh atau delapan negara segera menjadi kenyataan.
Alangkah menyedihkan jika globalisasi sebagai proses, akan dapat
benar-benar berfungsi mencabik-cabik kohesi kita. Padahal globalisasi
itu memiliki juga potensi lain terhadap kita sebagai bangsa yang
sangat heterogen (memiliki kemajemukan sangat tinggi) dalam hampir
semua hal, yaitu dapat diarahkan ke arah penyatuan perasaan maupun
pendapat-pendapat yang pokok.
Dalam pertemuan syukuran untuk menghormati kesembuhan penulis pada
tanggal 27 Juli 2005 yang lalu, oleh teman-teman, penulis diminta
untuk memimpin sebuah paguyuban yang bertugas untuk mencari
'penyelesaian' atas berbagai hal yang dihadapi bangsa ini. Akibat dari
langkanya kepemimpinan yang meliputi seluruh bangsa, dari yang
bersifat moral hingga yang bersifat hukum. Kelangkaan itu dikemukakan
sebagai penyebab dari amburadulnya kehidupan bangsa. Dari beberapa jam
mengeluarkan pendapat, para hadirin dalam 'sidang' syukuran itu
menyatakan perlunya kita kembali 'meluruskan' konsep-konsep
kepemimpinan yang kita gunakan dewasa ini. Bahkan ada yang bersikap
sangat jauh dan sangat ekstrim, dengan menganggap seolah-olah kita
tidak memiliki kepemimpinan sama sekali untuk membawa bangsa ini ke
arah yang kita cita-citakan.Yang ada hanyalah kepemimpinan negara,
tanpa memiliki arah nasional berupa kehidupan bangsa yang kita
dambakan.
Kalau bangsa Indonesia hanya mengandalkan kepemimpinan formal negara,
kita akan segera tercabik-cabik menjadi sekian negara. Kalau ini
dibiarkan jalan terus, bukankah 'kematian' kita sebagai bangsa sudah
tampak dengan jelas dan gamblang dalam cakrawala kita sebagai bangsa?
Untuk itulah, kita harus mencoba 'mencari' kembali hal-hal yang
mendorong kejayaan kita di masa lampau, dengan mempertaruhkan
segala-galanya bagi berdirinya sebuah bangsa? Dan bangsa itulah yang
kemudian membentuk negara Republik Indonesia. Latar belakang inilah
yang sebenarnya merupakan basis bagi kuatnya pendapat yang
menginginkan negara kesatuan Republik Indonesia.
"Kenyataan historis" seperti inilah yang sudah banyak dilupakan orang.
Nah, dalam hal ini kita perlu melihat kembali apa yang menjadi dasar
dari pendapat seperti itu. Ternyata, hal itu dapat diketemukan dalam
pemisahan yang tegas antara kekuasaan dari hukum. Bahwa, negara kita
tidak berdasarkan pada kekuasaan, melainkan sebuah negara hukum yang
bersandar kepada sebuah Undang-Undang Dasar, yang lengkap dengan
pembukaan dan penjelasannya. Karenanya, yang berhak menentukan
pelanggaran terhadap UUD hanyalah satu pihak saja, yaitu MA, lainnya
tidak memiliki kompetensi dan wewenang sama sekali. Segala macam
pendapat dan analisa, dapat disampaikan kepada lembaga itu, tetapi MA
adalah satu-satunya pihak yang dapat melakukan hal itu. Inilah yang
harus senantiasa diingat oleh semua pihak, tanpa kecuali.
Sayangnya MA sendiri tidak begitu aktif membela hak tersebut. Bahkan
ada tanda-tanda MA "melalaikan kewajiban" dalam hal ini. Seperti saat
Kapolri Da'i Bachtiar di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri
menyatakan, para mahasiswa yang melakukan demo dihadapan rumah
Megawati Soekarnoputri di jalan Teuku Umar melakukan pelanggaran
terhadap ketertiban umum. Penulis segera mengeluarkan reaksi yang
tidak dimuat sama sekali oleh pers nasional kita. Penulis bertanya
siapakah yang seharusnya berhak mengeluarkan pendapat hukum dalam hal
ini? MA atau Polri? menurut pendapat penulis, hanya MA yang memiliki
wewenang hukum yang "harus diikuti" dalam hal ini. Polri hanya
berwewenang melaksanakan saja keputusan MA, seperti halnya dengan MUI,
pemimpin negara dan lain-lain. Kita tidak menginginkan MUI menjadi
badan kenegaraan dan Menteri Agama berfungsi hukum untuk menggantikan
MA.
Kalau kita ingin merubah hal ini, hendaknya diadakan forum konvensi
untuk itu. Tindakan apapun, yang diambil secara sepihak, tentu saja
bersifat "gelap" dan tidak memiliki dasar hukum. Hal yang sangat
menyedihkan ini dapat terjadi dalam kehidupan kita, jika kita tidak
berhati-hati. Kemalasan kita sebagai bangsa, akan berbuntut sangat
panjang bagi sejarah kita. Tentu saja tidak ingin demikian.
Apa yang diuraikan diatas adalah sebuah penalaran yang bersifat umum
dalam kehidupan bangsa kita. Ini adalah pendapat pribadi yang hanya
lebih tepat dibantah, daripada dianggap sebagai "kejahatan" terhadap
Islam. Karenanya pendapat itu tidak perlu ditanggapi secara emosional,
melainkan harus dengan cara rasional. Lagi pula yang kita persoalkan
bukanlah ajaran Islam, melainkan bagaimana sebuah ajaran agama harus
diterapkan dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Ini adalah bagian dari
proses melestarikan dan membuang sesuatu dalam kehidupan sejarah kita
sebagai bangsa, bukan?
No comments:
Post a Comment