Sunday, March 20, 2011

Kekuasaan dan Hukum

Oleh: Abdurrahman Wahid

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa waktu yang lalu, seperti

memberi sinyal bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki wewenang

untuk membubarkan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena bertentangan

dengan ajaran agama Islam. Kalau pendapat ini dikemukakan orang lain,

tidak ada masalah sama sekali. Tetapi ia dinyatakan oleh SBY dalam

kapasitas pemimpin formal negeri ini. Padahal ia sebenarnya seharusnya

sudah tahu bahwa wewenang itu harus berada di tangan Mahkamah Agung

(MA). Katakanlah keputusan MUI tentang JAI itu, yang sudah diambil

sejak lama, memiliki nilai 'kebenaran' dan karenanya harus

dilaksanakan. Tapi toh yang terjadi hanyalah 'kebenaran' dalam

pendapat keagamaan bukan pendapat kenegaraan. Dalam hal ini, jika kita

benar-benar konsekuen dengan Undang-Undang Dasar (UUD), fatwa MUI itu

bukanlah pendapat negara .

Jika ada yang menyatakan, bahwa MA menganggap tidak perlu memberikan

fatwa dalam hal ini, maka tulisan ini hendaklah dianggap sebagai

permintaan fatwa tersebut. Karena MA memiliki wewenang untuk

intervensi/campur tangan dalam hal kenegaraan apapun, yang menyangkut

UUD. Tanpa memiliki keberanian moral untuk berpegang pada kenyataan

ini, berarti MA mengingkari kehadirannya sendiri, sesuatu yang

sebenarnya menyimpang dari perjalanan bangsa ini ke arah demokrasi

konstitusional. Kalau kita sudah tidak mempunyai anggapan seperti ini,

itulah sebenarnya yang menjadi persoalan. Karena keseluruhan bangunan

negara kita didasarkan pada asumsi dasar, bahwa kekuasaan negara pada

tingkat nasional memiliki tiga unsur utama: pelaksana (eksekutif),

pembuat aturan (legislatif), dan penjaga (yudikatif).

Kalau 'pembagian kekuasaan' seperti itu dalam kehidupan bernegara

tidak diperhatikan, maka alasan berdirinya bangsa ini (raison d'etre

du nation) berhenti beroperasi dalam kehidupan kita. Berarti kita

harus merumuskan kembali dasar-dasar negara kita. Pancasila yang sudah

dirongrong begitu rupa, sekarang justru dirongrong dari dalam sendiri.

Kalau memang demikian, apa yang diinginkan 'orang luar' yaitu pisahnya

Indonesia menjadi tujuh atau delapan negara segera menjadi kenyataan.

Alangkah menyedihkan jika globalisasi sebagai proses, akan dapat

benar-benar berfungsi mencabik-cabik kohesi kita. Padahal globalisasi

itu memiliki juga potensi lain terhadap kita sebagai bangsa yang

sangat heterogen (memiliki kemajemukan sangat tinggi) dalam hampir

semua hal, yaitu dapat diarahkan ke arah penyatuan perasaan maupun

pendapat-pendapat yang pokok.

Dalam pertemuan syukuran untuk menghormati kesembuhan penulis pada

tanggal 27 Juli 2005 yang lalu, oleh teman-teman, penulis diminta

untuk memimpin sebuah paguyuban yang bertugas untuk mencari

'penyelesaian' atas berbagai hal yang dihadapi bangsa ini. Akibat dari

langkanya kepemimpinan yang meliputi seluruh bangsa, dari yang

bersifat moral hingga yang bersifat hukum. Kelangkaan itu dikemukakan

sebagai penyebab dari amburadulnya kehidupan bangsa. Dari beberapa jam

mengeluarkan pendapat, para hadirin dalam 'sidang' syukuran itu

menyatakan perlunya kita kembali 'meluruskan' konsep-konsep

kepemimpinan yang kita gunakan dewasa ini. Bahkan ada yang bersikap

sangat jauh dan sangat ekstrim, dengan menganggap seolah-olah kita

tidak memiliki kepemimpinan sama sekali untuk membawa bangsa ini ke

arah yang kita cita-citakan.Yang ada hanyalah kepemimpinan negara,

tanpa memiliki arah nasional berupa kehidupan bangsa yang kita

dambakan.

Kalau bangsa Indonesia hanya mengandalkan kepemimpinan formal negara,

kita akan segera tercabik-cabik menjadi sekian negara. Kalau ini

dibiarkan jalan terus, bukankah 'kematian' kita sebagai bangsa sudah

tampak dengan jelas dan gamblang dalam cakrawala kita sebagai bangsa?

Untuk itulah, kita harus mencoba 'mencari' kembali hal-hal yang

mendorong kejayaan kita di masa lampau, dengan mempertaruhkan

segala-galanya bagi berdirinya sebuah bangsa? Dan bangsa itulah yang

kemudian membentuk negara Republik Indonesia. Latar belakang inilah

yang sebenarnya merupakan basis bagi kuatnya pendapat yang

menginginkan negara kesatuan Republik Indonesia.

"Kenyataan historis" seperti inilah yang sudah banyak dilupakan orang.

Nah, dalam hal ini kita perlu melihat kembali apa yang menjadi dasar

dari pendapat seperti itu. Ternyata, hal itu dapat diketemukan dalam

pemisahan yang tegas antara kekuasaan dari hukum. Bahwa, negara kita

tidak berdasarkan pada kekuasaan, melainkan sebuah negara hukum yang

bersandar kepada sebuah Undang-Undang Dasar, yang lengkap dengan

pembukaan dan penjelasannya. Karenanya, yang berhak menentukan

pelanggaran terhadap UUD hanyalah satu pihak saja, yaitu MA, lainnya

tidak memiliki kompetensi dan wewenang sama sekali. Segala macam

pendapat dan analisa, dapat disampaikan kepada lembaga itu, tetapi MA

adalah satu-satunya pihak yang dapat melakukan hal itu. Inilah yang

harus senantiasa diingat oleh semua pihak, tanpa kecuali.

Sayangnya MA sendiri tidak begitu aktif membela hak tersebut. Bahkan

ada tanda-tanda MA "melalaikan kewajiban" dalam hal ini. Seperti saat

Kapolri Da'i Bachtiar di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri

menyatakan, para mahasiswa yang melakukan demo dihadapan rumah

Megawati Soekarnoputri di jalan Teuku Umar melakukan pelanggaran

terhadap ketertiban umum. Penulis segera mengeluarkan reaksi yang

tidak dimuat sama sekali oleh pers nasional kita. Penulis bertanya

siapakah yang seharusnya berhak mengeluarkan pendapat hukum dalam hal

ini? MA atau Polri? menurut pendapat penulis, hanya MA yang memiliki

wewenang hukum yang "harus diikuti" dalam hal ini. Polri hanya

berwewenang melaksanakan saja keputusan MA, seperti halnya dengan MUI,

pemimpin negara dan lain-lain. Kita tidak menginginkan MUI menjadi

badan kenegaraan dan Menteri Agama berfungsi hukum untuk menggantikan

MA.

Kalau kita ingin merubah hal ini, hendaknya diadakan forum konvensi

untuk itu. Tindakan apapun, yang diambil secara sepihak, tentu saja

bersifat "gelap" dan tidak memiliki dasar hukum. Hal yang sangat

menyedihkan ini dapat terjadi dalam kehidupan kita, jika kita tidak

berhati-hati. Kemalasan kita sebagai bangsa, akan berbuntut sangat

panjang bagi sejarah kita. Tentu saja tidak ingin demikian.

Apa yang diuraikan diatas adalah sebuah penalaran yang bersifat umum

dalam kehidupan bangsa kita. Ini adalah pendapat pribadi yang hanya

lebih tepat dibantah, daripada dianggap sebagai "kejahatan" terhadap

Islam. Karenanya pendapat itu tidak perlu ditanggapi secara emosional,

melainkan harus dengan cara rasional. Lagi pula yang kita persoalkan

bukanlah ajaran Islam, melainkan bagaimana sebuah ajaran agama harus

diterapkan dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Ini adalah bagian dari

proses melestarikan dan membuang sesuatu dalam kehidupan sejarah kita

sebagai bangsa, bukan?

No comments:

Post a Comment