Ketika Komitmen Multikultural Kian Rapuh
Oleh: M. Subhi Azhari
Keberadaan Indonesia sebagian model toleransi beragama dan
multikulturalisme akhir-akhir ini diguncang banyaknya insiden
kekerasan atas nama agama. Secara kuantitas, insiden kekerasan
tersebut setiap tahun terus meningkat. Begitupula secara kualitas,
tindakan kekerasan berbasis agama ini telah sampai pada titik yang
sangat mengkhawatirkan. Berbagai pihak telah menyuarakan
keprihatinannya menyikapi situasi tersebut, bahkan tidak sedikit dari
mereka secara tegas mengutuk kekerasan dan menganggapnya sebagai
tindakan yang merongrong nilai-nilai kemanusiaan.
Namun nyatanya kekerasan terus saja terjadi dan korban terus
berjatuhan. Tidak ada efek perubahan akibat kutukan-kutukan tersebut.
Sebaliknya, para pelaku kekerasan semakin immune, kebal, mereka malah
berusaha menularkan virus kekerasan ke sekelilingnya melalui
syiar-syiar kebencian terhadap kelompok lain. Peristiwa kekerasan
terhadap Ahmadiyah di Cikeusik Banten misalnya, secara langsung maupun
tidak telah mendorong imitasi kekerasan oleh kelompok anarkhis sejenis
di tempat lain. Tampaknya, bangunan berbangsa kita sedang dalam ujian
yang maha berat dimana komitmen terhadap multikulturalisme semakin
rapuh.
Inilah sedikit cacatan dari diskusi terfokus bertajuk "Ritus Kekerasan
Berbasis Agama: Mengapa Terus Terjadi" di Wahid Institute, Senin
(28/02) lalu. Sejumlah tokoh yang hadir melihat saat ini, masyarakat
kita makin permisif dengan kekerasan di sekelilingnya, ada banalitas
kekerasan yang seolah ditolerir karena memiliki alasan yang cukup
masuk akal. Masyarakat diam dan bahkan menyetujui tindak kekerasan
karena dibungkus simbol-simbol agama. Di sisi lain, para tokoh agama
juga diam bahkan tidak sedikit dari mereka yang melakukan justifikasi
dan reviktimisasi terhadap korban, seolah merekalah yang memprovokasi
kekerasan. Sikap tokoh agama ini menambah amunisi kelompok kekerasan
melanjutkan aksi-aksi mereka.
Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa ada benang merah antara
intensitas tindak kekerasan atas nama agama dengan eksploitasi massif
simbol-simbol dan identitas keagamaan diruang publik. Munculnya
kelompok-kelompok sipil dengan simbol agama (baca: Islam) yang kental
selalu membawa aspirasi-aspirasi internal agama Islam menyikapi
problem sosial dan politik di sekitarnya. Mereka misalnya menyikapi
persoalan minuman keras, perjudian, prostitusi, hingga kelompok yang
dinilai aliran sesat dengan merujuk doktrin-doktrin internal Islam,
mulai dari perspektif moral hingga legal (fikih). Mereka juga berusaha
mengimplementasikan doktrin-doktrin tersebut tidak hanya pada ranah
privat tetapi juga dalam ranah publik yang pada gilirannya sering
berbenturan dengan logika hokum negara. Bahkan tidak jarang dilakukan
melalui paksaan kekerasan.
Mereka misalnya merazia tempat-tempat hiburan yang dinilai melanggar
moral Islam, melakukan penggerebegan terhadap markas kelompok aliran
yang dinilai menodai Islam, hingga turun ke jalan menyuarakan
formalisasi syariat Islam. Aksi-aksi seperti ini telah mengancam dan
melanggar hak-hak dasar warga negara lain terutama kelompok minoritas.
Mereka tidak saja mengalami kerugian materil seperti hancurnya
property dan harta benda tetapi juga kerugian moril karena terstigma
sebagai kelompok sesat dan tidak bermoral.
Identitas Tunggal
Salah satu pilar bangsa kita adalah bhinneka tunggal ika. Pilar ini
telah terbukti mampu merekat kesatuan dan meneguhkan rasa saling
menghormati dan saling menerima setiap warga negara meskipun dari
beragam suku, agama, bahasa bahkan ideologi politik. Pilar ini juga
mampu membentengi identitas multikultur bangsa Indonesia dari upaya
penunggalan sebagaimana dilakukan orde baru.Pasca reformasi, upaya
semacam itu justru muncul dalam bentuk lain yakni melalui simbol dan
identias keagamaan di ruang public.
Ketika multikulturalisme diterima sebagai pilihan dalam mengelola
keragaman bangsa, sekelompok kecil orang justru menilainya sebagai
masalah. Karena itu mereka berusaha mereduksi dan menggugat pilihan
tersebut dengan berbagai cara. Dalam pandangan Amatya Sen, seorang
ekonom dan filosof asal India, kelompok ini mengandaikan identitas
yang mereka perjuangkan bersifat kodrat dan tunggal bahkan sering
bersifat agresif. Identias ini menurut Sen tidak hanya tidak bisa
mereka lepaskan, tetapi juga membebani mereka dengan tuntutan yang
berat, termasuk dalam hal ini bertindak kejam dan sadis.
Dalam pemahaman kelompok ini, manusia sesungguhnya tidak bisa dengan
bebas memilih identitasnya, karena ada kekuatan dari luar yang sudah
menentukan. Jika identitas yang dimaksud adalah agama atau keyakinan
tertentu, maka identitas para pemeluk agama yang sama sudah ditentukan
oleh pembuat agama tersebut. Karena itu, tidak heran apabila kelompok
anti-Ahmadiyah misalnya memaksa warga Ahmadiyah keluar dari Islam
dengan argument identitas warga Ahmadiyah berbeda dengan identitas
umat Islam pada umumnya. Apabila mereka tidak mau, maka harus dipaksa
dengan kekerasan.
Konsepsi tentang identitas tunggal ini mengesampingkan kenyataan bahwa
setiap orang memiliki identias yang sangat beragam pada dirinya.
Dimana setiap orang pasti memiliki persinggungan identitas dengan
orang lain, apakah itu sebagai pemeluk suatu agama, sesame warga
negara, sesame anggota suku bangsa atau bahkan sebagai sesame umat
manusia. Bagaimana mungkin kita mengandaikan seseorang harus memiliki
identitas yang sama dengan kita, sementara orang tersebut merasa
memiliki identitas yang berbeda.
Persoalan ideintitas dalah persoalan pilihan. Kita tidak bisa memaksa
seseorang memeluk atau melepaskan identitasnya sebagai pemeluk aliran
tertentu dalam agama, karena hal itu sama saja melawan kebebasan
seseorang untuk memilih dan mempertanggungjawabkan pilihannya. Dalam
kaitan ini, kita tidak bisa memaksa warga Ahmadiyah keluar dari Islam
dan mendirikan agama baru, karena mereka memilih tetap menjadi orang
Islam sekaligus warga Ahmadiyah. Begitupula dengan kelaompk keyakinan
lain di masyarakat seperti Lia Eden, Sapto Dharmo dan lainnya untuk
meninggalkan keyakinan mereka dengan alasan yang sama. Selama
keyakinan tersebut tidak melawan hokum dan dijalankan secara
bertanggungjawab, konstitusi negara menjamin hak-hak mereka.
Menghentikan Kekerasan
Seperti penulis sampaikan dimuka, ritus kekerasan berbasis agama
kahir-akhir ini muncul karena rasa identitas yang melekat pada
sekelompok kecil umat beragama. Rasa identitas tersebut seolah
membebani mereka dengan tuntutan bertindak agresif, yang mana hal itu
melawan konsensus berbangsa kita. Dan rasa inilah yang selalu
menghambat upaya-upaya mengehntikan kekerasan karena yang dihadapi
adalah kerancuan konsepsi.
Menghentikan kekerasan bisa dilakukan dengan mendobrak kerancuan
berpikir bahwa setiap orang tidak bebas memilih ideintitasnya. Kita
perlu pemahaman yang jernih bahwa hal utama dari setiap orang adalah
tanggungjawab, kemandirian dan penalaran yang benar terhadap
pilihannya. Kita juga harus mengakui bahwa setiap orang pasti memiliki
persinggungan identitas dengan orang lain. Jika mereka berbeda
identitas agama dan keyakinan, pasti mereka memiliki identitas yang
sama apakah sebagai keluarga, sebagai sesame anggota suku bangsa, atau
sebagai sesame umat beragama. Yang pasti kita adalah sesame warga
negara Indonesia yang secara sadar menerima kebhinekaan sebagai
identitas kita. Jika kita jujur dengan kenyataan ini, maka komitmen
kita terhadap multikulturalisme tentu akan semakin kokoh.
No comments:
Post a Comment