Monday, March 21, 2011

Ketika Komitmen Multikultural Kian Rapuh

Catatan Kedua Hasil Diskusi dan Pertemuan Tokoh

Ketika Komitmen Multikultural Kian Rapuh

Oleh: M. Subhi Azhari

Keberadaan Indonesia sebagian model toleransi beragama dan

multikulturalisme akhir-akhir ini diguncang banyaknya insiden

kekerasan atas nama agama. Secara kuantitas, insiden kekerasan

tersebut setiap tahun terus meningkat. Begitupula secara kualitas,

tindakan kekerasan berbasis agama ini telah sampai pada titik yang

sangat mengkhawatirkan. Berbagai pihak telah menyuarakan

keprihatinannya menyikapi situasi tersebut, bahkan tidak sedikit dari

mereka secara tegas mengutuk kekerasan dan menganggapnya sebagai

tindakan yang merongrong nilai-nilai kemanusiaan.

Namun nyatanya kekerasan terus saja terjadi dan korban terus

berjatuhan. Tidak ada efek perubahan akibat kutukan-kutukan tersebut.

Sebaliknya, para pelaku kekerasan semakin immune, kebal, mereka malah

berusaha menularkan virus kekerasan ke sekelilingnya melalui

syiar-syiar kebencian terhadap kelompok lain. Peristiwa kekerasan

terhadap Ahmadiyah di Cikeusik Banten misalnya, secara langsung maupun

tidak telah mendorong imitasi kekerasan oleh kelompok anarkhis sejenis

di tempat lain. Tampaknya, bangunan berbangsa kita sedang dalam ujian

yang maha berat dimana komitmen terhadap multikulturalisme semakin

rapuh.

Inilah sedikit cacatan dari diskusi terfokus bertajuk "Ritus Kekerasan

Berbasis Agama: Mengapa Terus Terjadi" di Wahid Institute, Senin

(28/02) lalu. Sejumlah tokoh yang hadir melihat saat ini, masyarakat

kita makin permisif dengan kekerasan di sekelilingnya, ada banalitas

kekerasan yang seolah ditolerir karena memiliki alasan yang cukup

masuk akal. Masyarakat diam dan bahkan menyetujui tindak kekerasan

karena dibungkus simbol-simbol agama. Di sisi lain, para tokoh agama

juga diam bahkan tidak sedikit dari mereka yang melakukan justifikasi

dan reviktimisasi terhadap korban, seolah merekalah yang memprovokasi

kekerasan. Sikap tokoh agama ini menambah amunisi kelompok kekerasan

melanjutkan aksi-aksi mereka.

Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa ada benang merah antara

intensitas tindak kekerasan atas nama agama dengan eksploitasi massif

simbol-simbol dan identitas keagamaan diruang publik. Munculnya

kelompok-kelompok sipil dengan simbol agama (baca: Islam) yang kental

selalu membawa aspirasi-aspirasi internal agama Islam menyikapi

problem sosial dan politik di sekitarnya. Mereka misalnya menyikapi

persoalan minuman keras, perjudian, prostitusi, hingga kelompok yang

dinilai aliran sesat dengan merujuk doktrin-doktrin internal Islam,

mulai dari perspektif moral hingga legal (fikih). Mereka juga berusaha

mengimplementasikan doktrin-doktrin tersebut tidak hanya pada ranah

privat tetapi juga dalam ranah publik yang pada gilirannya sering

berbenturan dengan logika hokum negara. Bahkan tidak jarang dilakukan

melalui paksaan kekerasan.

Mereka misalnya merazia tempat-tempat hiburan yang dinilai melanggar

moral Islam, melakukan penggerebegan terhadap markas kelompok aliran

yang dinilai menodai Islam, hingga turun ke jalan menyuarakan

formalisasi syariat Islam. Aksi-aksi seperti ini telah mengancam dan

melanggar hak-hak dasar warga negara lain terutama kelompok minoritas.

Mereka tidak saja mengalami kerugian materil seperti hancurnya

property dan harta benda tetapi juga kerugian moril karena terstigma

sebagai kelompok sesat dan tidak bermoral.

Identitas Tunggal

Salah satu pilar bangsa kita adalah bhinneka tunggal ika. Pilar ini

telah terbukti mampu merekat kesatuan dan meneguhkan rasa saling

menghormati dan saling menerima setiap warga negara meskipun dari

beragam suku, agama, bahasa bahkan ideologi politik. Pilar ini juga

mampu membentengi identitas multikultur bangsa Indonesia dari upaya

penunggalan sebagaimana dilakukan orde baru.Pasca reformasi, upaya

semacam itu justru muncul dalam bentuk lain yakni melalui simbol dan

identias keagamaan di ruang public.

Ketika multikulturalisme diterima sebagai pilihan dalam mengelola

keragaman bangsa, sekelompok kecil orang justru menilainya sebagai

masalah. Karena itu mereka berusaha mereduksi dan menggugat pilihan

tersebut dengan berbagai cara. Dalam pandangan Amatya Sen, seorang

ekonom dan filosof asal India, kelompok ini mengandaikan identitas

yang mereka perjuangkan bersifat kodrat dan tunggal bahkan sering

bersifat agresif. Identias ini menurut Sen tidak hanya tidak bisa

mereka lepaskan, tetapi juga membebani mereka dengan tuntutan yang

berat, termasuk dalam hal ini bertindak kejam dan sadis.

Dalam pemahaman kelompok ini, manusia sesungguhnya tidak bisa dengan

bebas memilih identitasnya, karena ada kekuatan dari luar yang sudah

menentukan. Jika identitas yang dimaksud adalah agama atau keyakinan

tertentu, maka identitas para pemeluk agama yang sama sudah ditentukan

oleh pembuat agama tersebut. Karena itu, tidak heran apabila kelompok

anti-Ahmadiyah misalnya memaksa warga Ahmadiyah keluar dari Islam

dengan argument identitas warga Ahmadiyah berbeda dengan identitas

umat Islam pada umumnya. Apabila mereka tidak mau, maka harus dipaksa

dengan kekerasan.

Konsepsi tentang identitas tunggal ini mengesampingkan kenyataan bahwa

setiap orang memiliki identias yang sangat beragam pada dirinya.

Dimana setiap orang pasti memiliki persinggungan identitas dengan

orang lain, apakah itu sebagai pemeluk suatu agama, sesame warga

negara, sesame anggota suku bangsa atau bahkan sebagai sesame umat

manusia. Bagaimana mungkin kita mengandaikan seseorang harus memiliki

identitas yang sama dengan kita, sementara orang tersebut merasa

memiliki identitas yang berbeda.

Persoalan ideintitas dalah persoalan pilihan. Kita tidak bisa memaksa

seseorang memeluk atau melepaskan identitasnya sebagai pemeluk aliran

tertentu dalam agama, karena hal itu sama saja melawan kebebasan

seseorang untuk memilih dan mempertanggungjawabkan pilihannya. Dalam

kaitan ini, kita tidak bisa memaksa warga Ahmadiyah keluar dari Islam

dan mendirikan agama baru, karena mereka memilih tetap menjadi orang

Islam sekaligus warga Ahmadiyah. Begitupula dengan kelaompk keyakinan

lain di masyarakat seperti Lia Eden, Sapto Dharmo dan lainnya untuk

meninggalkan keyakinan mereka dengan alasan yang sama. Selama

keyakinan tersebut tidak melawan hokum dan dijalankan secara

bertanggungjawab, konstitusi negara menjamin hak-hak mereka.

Menghentikan Kekerasan

Seperti penulis sampaikan dimuka, ritus kekerasan berbasis agama

kahir-akhir ini muncul karena rasa identitas yang melekat pada

sekelompok kecil umat beragama. Rasa identitas tersebut seolah

membebani mereka dengan tuntutan bertindak agresif, yang mana hal itu

melawan konsensus berbangsa kita. Dan rasa inilah yang selalu

menghambat upaya-upaya mengehntikan kekerasan karena yang dihadapi

adalah kerancuan konsepsi.

Menghentikan kekerasan bisa dilakukan dengan mendobrak kerancuan

berpikir bahwa setiap orang tidak bebas memilih ideintitasnya. Kita

perlu pemahaman yang jernih bahwa hal utama dari setiap orang adalah

tanggungjawab, kemandirian dan penalaran yang benar terhadap

pilihannya. Kita juga harus mengakui bahwa setiap orang pasti memiliki

persinggungan identitas dengan orang lain. Jika mereka berbeda

identitas agama dan keyakinan, pasti mereka memiliki identitas yang

sama apakah sebagai keluarga, sebagai sesame anggota suku bangsa, atau

sebagai sesame umat beragama. Yang pasti kita adalah sesame warga

negara Indonesia yang secara sadar menerima kebhinekaan sebagai

identitas kita. Jika kita jujur dengan kenyataan ini, maka komitmen

kita terhadap multikulturalisme tentu akan semakin kokoh.

No comments:

Post a Comment