Sunday, March 20, 2011

Damai Dalam Pertentangan

Oleh KH. Abdurrahman Wahid

Memang ironis kalau simbol lebih dikenal dari kenyataan. Tapi itulah

yang terjadi di Tokyo bulan lalu, April 1983. Film Gandhi, yang baru

saja memenangkan delapan Oscar di Hollywood, diputar serentak di

sekian bioskop. Karcis dibeli berebutan . Masyarakat Jepang rupanya

disentuh nuraninya oleh film yang menggambarkan perlawanan tanpa

kekerasan.

Namun sebuah kejadian lain di Tokyo waktu itu hampir-hampir tidak

memperoleh perhatian. Hanya dimuat dalam berita pendek di sudut bawah

koran-koran Jepang: Uskup Agung Helder Camara menerima Hadiah Niwano

untuk perdamaian. Padahal tahun inilah hadiah itu pertama kali di

berikan.

Hadiah Niwano rencananya akan dikeluarkan tiap tahun oleh Yayasan

Perdamaian Niwano, salah satu lembaga yang berasal dari gerakan kaum

Budhis terbesar di Jepang, Rissbo-Kosei-Kai. Di samping memberikan

hadiah untuk prestasi terbaik dalam menumbuhkan saling pengertian

antar agama dan memajukan perdamaian, yayasan itu juga menjadi sponsor

Konperensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (World Conference on

Peace and Religion) yang sudah berlangsung tiga kali sampai saat ini.

Dan hadiah Niwano justru punya arti penting oleh pemilihan pemenangnya

yang pertama kali ini: Uskup Agung Olinda-Recife, Brazilia, Helder

Pessoa Camara, yang oleh penggemarnya disebut Dom Helder. Ialah "uskup

merah". Yang berarti, hadiah perdamaian itu diberikan berdasar

pertimbangan yang tidak konvensional tentang 'perdamaian' itu sendiri.

Ini menjadi jelas bila bentuk penghargaan baru itu dibandingkan dengan

Hadiah Nobel untuk perdamaian.

'Perdamaian', dalam Hadiah Nobel, mengandung arti menghindarkan ,

melerai, mengurangi atau menyelesaikan konflik. Konfliknyapun tidak

dibatasi, baik terorisme bersenjata di Irlandia Utara maupun

pertentangan politik seperti sengketa Arab-Israel. Tidak heran kalau

dari pejuang palang merah sampai pejabat pemertintah dapat meraih

penghargaan itu ( Sadat dan Begin, misalnya ). Juga pejuang

kemanusiaan dalam arti umum seperti Albert Schweitzer yang bergulat

dengan penyakit Lepra di Afrika Hitam, atau suster Marie Therese yang

mengurusi kaum melarat di Calcutta, India.

Dalam wawasan serba konvensional itu yang ditinggalkan Yayasan Niwano,

setidaknya tahun ini. 'Uskup Merah' Dom Helder tidak akan memperoleh

julukan julukan merah kalau ia menghindar dari konflik. Yang

dilakukannya justru mendorong berlangsungnya perlawanan terhadap

kekuasaan militer yang menindas rakyat dan struktur yang timpang, di

negaranya sendiri maupun di seluruh Amerika Latin umumnya.

Hanya saja perlawanan yang diserukan dan ditunjangnya bukan perlawanan

bersenjata, apalagi terorisme. Dan disini ia memenuhi kedua Krieria

Yayasan Niwano: memajukan perdamaian dan sekaligus mengembangkan

saling pengertian antar agama. Dan caranya dianggap unik.

Bermula dari keyakinan akan kebenaran moralitas yang bersandar pada

rasa kasih sayang, ia menghimbau kalangan rohaniawan agamanya sendiri

untuk menegakkan masyarakat baru yang tidak diwarnai penindasan. Upaya

menghilangkan penindasan berarti kesediaan untuk turut menegakkan

struktur ekonomi yang adil - yang bebas dari ekploitasi kalangan yang

oleh Dom Helder di sebut 'mereka yang memiliki uang', alias kaum

modal. Kalau pemerintah, dan kekuasaan yang ada, mengukuhkan struktur

eksploitatif, kalangan agama harus memunculkan alternatif mereka di

bawah swadaya masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan,

membebaskan dari kungkungan hukum yang tidak adil dan memperjuangkan

hak-hak asasi.

Petani didorong berani mengambil inisiatif dan memulai perombakan

struktur pemilikan dan penguasaan tanah, alias Landreform. Dilanjutkan

dengan membentuk usaha prakooperatif. Kaum buruh di kota didorong

berani menuntut hak mereka dari pihak majikan- kalau perlu dengan

pemogokan. Generasi muda diimbau memperjuangkan hak-hak politik

sepenuhnya, kalau perlu dengan demonstrasi. Dan kalangan Intelektual

diminta mempelopori jaringan pendidikan yang benar-benar relevan

dengan kebutuhan golongan miskin ; penyadaran akan keberadaan mereka

dan kemampuan yang mereka miliki untuk mengubah nasib.

Sikap seperti itu, menurut kacamata Uskup Agung Helder Camara, adalah

inti perdamaian. Itulah upaya menegakkan masyarakat yang benar-benar

adil. Hanya saja upaya tersebut dilakukan tidak dengan merobohkan

sistem kekuasaan yang ada, melainkan mengubahnya berangsur-angsur..

Tindak kekerasan dari pemegang kekuasaan harus dihadapi dengan sikap

menentang bentuk kekerasan itu sendiri. Disini bertemulah sikap

menjunjung tinggi perdamaian (tanpa mengurangi sedikit pun kewajibang

menentang struktur masyarakat yang timpang ) di satu pihak dan sikap

mengembangkan saling pengertian antar agama di pihak lain.

Dom Helder memang secara terbuka 'meminjam' cara-cara yang

dikembangkan agama lain. Yaitu dari perjuangan Mahatma Gandhi di

lingkungan agama Hindu dan Martin Luther King di kalangan agama

Protestan. Gandhi memperjuangkan kemerdekaan India, sedangkan King

memperjuangkan hak-hak sipil golongan kulit hitam di Amerika Serikat,

namun keteguhan mereka untuk berjuang secara militan tanpa kekerasan

adalah sesuatu yang secara universal dapat dilakukan kalangan mana pun

termasuk kalangan Katholik Amerika Latin - mungkin demikian jalan

pikiran Helder . Bukankah dengan saling pengertian mendasar antaragama

seperti itu, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari

bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan, dan kasih sayang?

Banyak yang dapat diambil dari kiprah menegakkan perdamaian di tengah

pertentangan, dan saling pengertian di tengah perbedaan ajaana dan

paham. Relevankah pelajaran itu bagi kita ? Kita sendiri sudah tentu

tahu jawabannya - walaupun aneh juga bahwa dari Indonesia datang

pencalonan untuk hadiah tersebut, yang mengusulkan seorang jendral.

Konsepnya tentang perdamaian tentu lain lagi.

No comments:

Post a Comment