mendatangi Bupati Lebak, Provinsi Banten agar segera mengeluarkan
surat keputusan (Perda) yang berisi mengenai perlindungan terhadap
hak-hak kelompok minoritas, terutama minoritas keagamaan. Dengan gaya
khasnya, Gus Dur menginstruksikan pimpinan daerah Lebak itu. "kalau
Kau gak bikin SK, saya yang akan bikin," ancam Gus Dur yang saat itu
Presiden RI.
Itu sekelumit kisah yang diceritakan Direktur Eksekutif Wahid
Institute Ahmad Suaedy dalam acara Workshop Jurnalistik "Pedoman
Meliput Isu-isu Keagamaan" yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) bekerjasama dengan Wahid Institute di kantor Wahid
Institute Jalan Taman Amir Hamzah Nomor 8 Jakarta pada Sabtu (12/3).
Suaedy yang saat itu menjadi narasumber, mengungkap rasa prihatinnya
atas sikap negara yang seringkali absen dalam pembelaan kelompok
minoritas keagamaan. Negara seperti tak serius melindungi warganya
dari ancaman kekerasan. "Gus Dur itu mendukung kelompok adat yang
dilarang pemerintah Orba (Orde Baru)" jelas Suaedy mencontohkan
bagaimana kisah negara dalam perlindungan warganya.
Lebih lanjut, Suaedy menjelaskan. Semestinya sikap dan perjuangan dua
tokoh seperti Gus Dur dan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (akrab disapa
Romo Mangun) dalam mengembangkan toleransi dan pluralisme patut
ditiru. Bahkan kedua tokoh ini tampak 'bersaing' untuk merebut
perhatian warga negara. Namun pada saat yang sama muncul pengakuan
kedua tokoh bahwa Islam dan Kristen memang berbeda, dan tak berarti
menjadi sekat untuk menghormati satu sama lain.
Sikap seperti itu kini barang langka. Publik sering menumpahkan segala
macam pendapat dan aksinya dengan kekerasan. Bahkan dalam hal
keyakinan yang berbeda dalam satu agama, satu kelompok bisa dengan
mudah menghakimi, menebar teror kebencian, bahkan saling membunuh.
Dalam sesi tanya jawab muncul pernyataan beberapa peserta yang
kebanyakan jurnalis cetak dan elektronik itu perasaan 'frustrasi'
menghadapi pola-pola kekerasan yang ditampilkan kelompok keagamaan
tertentu. Mereka kadang merasa jenuh menyaksikan para elit agama dan
negara justru menjadi simpul penebar kebencian terhadap kelompok
minoritas (condoning violence).
"Rasanya kita butuh Gus Dur. Sampai saat ini, belum ada gantinya,"
ungkap Fira, jurnalis Liputan6 SCTV yang sering meliput masalah
konflik keagamaan.
Curahan hati Fira ini juga dirasakan peserta lain yang banyak meliput
konflik keagamaan seperti kasus Ahmadiyah. Untuk itu, Fira mengusulkan
agar tokoh dan orang-orang yang seringkali unjuk komentar bernada
condoning (pernyataan pejabat negara dan tokoh-tokoh berpengaruh yang
menyulut potensi kekerasan dan pelanggaran) agar di blacklist dari
benak para pencari berita untuk dijadikan sumber berita utama.
Wartawan harus pandai-pandai mencari 'gambar' yang sebenarnya dari
sekian rentetan fenomena di lapangan. "Jangan diberi ruang terhadap
orang-orang (yang condoning) ini," pesan Ignatius Haryanto yang
menyampaikan materi Evaluasi Peliputan Media atas Konflik Keagamaan:
Merancang Tips Praktis di Lapangan.
Bisa juga perlu dicarikan pendapat ketiga atau keempat dalam hal cover
both side. "mungkin bisa jadi cover three sides," tambahnya.
Perselingkuhan Agama dan Negara
Koordinator Program Wahid Institute Rumadi menyebut, konflik keagamaan
yang muncul di Indonesia itu tak lain akibat dari perselingkuhan
antara agama dan negara. "konflik agama akan memakan korban jika agama
dekat dengan politik," tegas Rumadi yang mencontohkan bagaimana
Khalifah Al Ma'mun di masa Dinasti Abbasiyyah pernah menghakimi
seorang imam besar, Imam Hambali, akibat perbedaan keyakinannya dengan
mainstream negara waktu itu. Peristiwa itu terjadi sekitar abad ke-9.
Pengajar di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
itu juga merefleksikan bagaimana negara seringkali tunduk terhadap
tekanan masssa. Lihat saja bagaimana putusan Hakim terhadap para
pelaku kekerasan. Berat dan ringannya hukuman adalah tergantung
bagaimana tekanan massa yang kerapkali muncul di arena sidang dengan
teriak takbir. "Mereka boros takbir," sindir Rumadi.
Akhirnya, kita memang membutuhkan figur yang cerdas mengelola konflik
horisontal yang sering melanda warga negara, terutama yang dialami
minoritas keagamaan seperti Jamaah Ahmadiyah. Agar konflik tak meluas
dan terjadi adu domba, atau justru penghakiman terhadap korban yang
minoritas, Gus Dur seringkali justru melontarkan wacana yang
menggiring agar masyarakat tak melupakan konteks konstitusi dan peran
negara.
"Sangat sulit mencari tokoh seperti Gus Dur," kata Kusti'ah salah
seorang wartawan Jurnal Parlemen mengakhiri.
No comments:
Post a Comment