Tuesday, March 22, 2011

Rasanya Kita Butuh Gus Dur

Suatu waktu, almarhum KH. Abdurrahman Wahid, akrab disapa Gus Dur,

mendatangi Bupati Lebak, Provinsi Banten agar segera mengeluarkan

surat keputusan (Perda) yang berisi mengenai perlindungan terhadap

hak-hak kelompok minoritas, terutama minoritas keagamaan. Dengan gaya

khasnya, Gus Dur menginstruksikan pimpinan daerah Lebak itu. "kalau

Kau gak bikin SK, saya yang akan bikin," ancam Gus Dur yang saat itu

Presiden RI.

Itu sekelumit kisah yang diceritakan Direktur Eksekutif Wahid

Institute Ahmad Suaedy dalam acara Workshop Jurnalistik "Pedoman

Meliput Isu-isu Keagamaan" yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis

Independen (AJI) bekerjasama dengan Wahid Institute di kantor Wahid

Institute Jalan Taman Amir Hamzah Nomor 8 Jakarta pada Sabtu (12/3).

Suaedy yang saat itu menjadi narasumber, mengungkap rasa prihatinnya

atas sikap negara yang seringkali absen dalam pembelaan kelompok

minoritas keagamaan. Negara seperti tak serius melindungi warganya

dari ancaman kekerasan. "Gus Dur itu mendukung kelompok adat yang

dilarang pemerintah Orba (Orde Baru)" jelas Suaedy mencontohkan

bagaimana kisah negara dalam perlindungan warganya.

Lebih lanjut, Suaedy menjelaskan. Semestinya sikap dan perjuangan dua

tokoh seperti Gus Dur dan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (akrab disapa

Romo Mangun) dalam mengembangkan toleransi dan pluralisme patut

ditiru. Bahkan kedua tokoh ini tampak 'bersaing' untuk merebut

perhatian warga negara. Namun pada saat yang sama muncul pengakuan

kedua tokoh bahwa Islam dan Kristen memang berbeda, dan tak berarti

menjadi sekat untuk menghormati satu sama lain.

Sikap seperti itu kini barang langka. Publik sering menumpahkan segala

macam pendapat dan aksinya dengan kekerasan. Bahkan dalam hal

keyakinan yang berbeda dalam satu agama, satu kelompok bisa dengan

mudah menghakimi, menebar teror kebencian, bahkan saling membunuh.

Dalam sesi tanya jawab muncul pernyataan beberapa peserta yang

kebanyakan jurnalis cetak dan elektronik itu perasaan 'frustrasi'

menghadapi pola-pola kekerasan yang ditampilkan kelompok keagamaan

tertentu. Mereka kadang merasa jenuh menyaksikan para elit agama dan

negara justru menjadi simpul penebar kebencian terhadap kelompok

minoritas (condoning violence).

"Rasanya kita butuh Gus Dur. Sampai saat ini, belum ada gantinya,"

ungkap Fira, jurnalis Liputan6 SCTV yang sering meliput masalah

konflik keagamaan.

Curahan hati Fira ini juga dirasakan peserta lain yang banyak meliput

konflik keagamaan seperti kasus Ahmadiyah. Untuk itu, Fira mengusulkan

agar tokoh dan orang-orang yang seringkali unjuk komentar bernada

condoning (pernyataan pejabat negara dan tokoh-tokoh berpengaruh yang

menyulut potensi kekerasan dan pelanggaran) agar di blacklist dari

benak para pencari berita untuk dijadikan sumber berita utama.

Wartawan harus pandai-pandai mencari 'gambar' yang sebenarnya dari

sekian rentetan fenomena di lapangan. "Jangan diberi ruang terhadap

orang-orang (yang condoning) ini," pesan Ignatius Haryanto yang

menyampaikan materi Evaluasi Peliputan Media atas Konflik Keagamaan:

Merancang Tips Praktis di Lapangan.

Bisa juga perlu dicarikan pendapat ketiga atau keempat dalam hal cover

both side. "mungkin bisa jadi cover three sides," tambahnya.

Perselingkuhan Agama dan Negara

Koordinator Program Wahid Institute Rumadi menyebut, konflik keagamaan

yang muncul di Indonesia itu tak lain akibat dari perselingkuhan

antara agama dan negara. "konflik agama akan memakan korban jika agama

dekat dengan politik," tegas Rumadi yang mencontohkan bagaimana

Khalifah Al Ma'mun di masa Dinasti Abbasiyyah pernah menghakimi

seorang imam besar, Imam Hambali, akibat perbedaan keyakinannya dengan

mainstream negara waktu itu. Peristiwa itu terjadi sekitar abad ke-9.

Pengajar di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta

itu juga merefleksikan bagaimana negara seringkali tunduk terhadap

tekanan masssa. Lihat saja bagaimana putusan Hakim terhadap para

pelaku kekerasan. Berat dan ringannya hukuman adalah tergantung

bagaimana tekanan massa yang kerapkali muncul di arena sidang dengan

teriak takbir. "Mereka boros takbir," sindir Rumadi.

Akhirnya, kita memang membutuhkan figur yang cerdas mengelola konflik

horisontal yang sering melanda warga negara, terutama yang dialami

minoritas keagamaan seperti Jamaah Ahmadiyah. Agar konflik tak meluas

dan terjadi adu domba, atau justru penghakiman terhadap korban yang

minoritas, Gus Dur seringkali justru melontarkan wacana yang

menggiring agar masyarakat tak melupakan konteks konstitusi dan peran

negara.

"Sangat sulit mencari tokoh seperti Gus Dur," kata Kusti'ah salah

seorang wartawan Jurnal Parlemen mengakhiri.

No comments:

Post a Comment