Saturday, December 25, 2010

Mesin Tik Usang dan Mahasiswa Sekarang

Di sebuah
kedai kopi di Medan, dua minggu
yang lalu, saya tersenyum-
senyum sendiri melihat barang-
barang lama yang dipajang di
sepanjang dindingnya. Ada foto
hitam putih perkebunan kopi dalam
pigura besar, mesin jahit merk
Singer, kaleng-kaleng kerupuk
berbagai model dan ukuran.
Di dekat pintu masuk, beralas
sebilah papan yang cukup tebal,
diletakkan sebuah mesin tik warna
hitam. Saya lupa memerhatikan
merknya, tapi mesin tik itu terlihat
sudah sangat tua. Entah produksi
tahun berapa.
Dulu, jaman masih sekolah dan
suka iseng malem-malem nulis
puisi dan cerpen asal-asalan,
biasanya saya pinjam mesin tik
punya bapak saya. Dan ya, lagi-lagi
saya lupa apa merknya. Brother,
kalau tidak salah.
Nah, mesin tik yang saya temukan
di kedai kopi kecil yang nyaman
dan beratmosfer jadul –tapi sudah
dilengkapi koneksi internet yang
cepat — itu, terlihat jauh lebih tua
dari model yang dulu saya biasa
pakai.
Jadi ingat beberapa malam yang
lalu. Di sebuah acara gathering para
penggiat online di ballroom sebuah
hotel di Jakarta, di sebelah saya
duduk seorang perempuan. Masih
sangat muda. Belakangan saya tau,
dia masih kuliah. Kami tidak sedikit
pun ngobrol. Saya sibuk dengan
teman-teman satu rombongan,
dan si nona ini lebih banyak diam,
sibuk mengetik sesuatu di layar
gadgetnya.
Kesibukannya mengetik --tepatnya
menyentuh-nyentuh layar
smartphonenya yang lebar dan
terlihat masih baru-- terhenti ketika
saya juga akan mulai mengetik
sesuatu.
“Wah, mbak main angry birds
juga ya?”
Saya nyengir, dan mulailah kami
ngobrol tentang game-game
favorit, gadget, dan aplikasi-aplikasi
terkini. Seperti perempuan-
perempuan sekarang pada
umumnya, nona ini lumayan
melek gadget, dan lancar bicara
tentang teknologi mobile internet.
Bukan sesuatu yang istimewa. Tapi
di akhir obrolan, saya sedikit kaget
waktu dia bilang, “enak banget
pake yang ini, mbak. kebantu
banget. sekarang kalo kuliah, aku
gak pernah lagi bawa buku. semua
nyatetnya di sini aja. ”
Membayangkan si nona –dan
mungkin gadis-gadis lain seusianya
— duduk di ruang kuliah, mencatat
materi kuliah dengan cara
menyentuh-nyentuh layar seperti
itu, agak terasa aneh buat saya.
Tidak ada lagi jari tangan kotor
kena tinta, tidak dibutuhkan lagi
tipp-ex jika ada tulisan yang perlu
dihapus. Sedikit absurd buat saya,
yang kebetulan mengalami masa-
masa di mana semua dikerjakan
serba manual. Tapi zaman –dan
trend-- memang mustahil
dibendung.
Ah, jadi kangen mengetik di mesin
tik tua milik bapak. Kangen
mendengar suara tak-tik-tak-tik
yang berisik saat menulis cerpen
malam-malam

No comments:

Post a Comment